Kepada Malam Sesudah Sebuah Hati Dipatahkan

sesudah sebuah hati dipatahkan

“This is a good sign, having a broken heart. It means we have tried for something.”
Elizabeth Gilbert (Eat, Pray, Love)

Kehidupan manusia hanya berisi dua hal: ketidakpastian dan ketidakpastian. Kehidupan adalah pertanyaan, tanpa tanda tanya. Seperti Tuhan, kau merasa begitu mengenalnya sekaligus merasa tidak tahu apa-apa tentangnya. Kau dan aku tinggal di dalam kehidupan yang demikian, tak pasti. Dan kita membicarakan hati di dalam ketidakpastian itu.

Ketidakpastian — atau kehidupan itu — akan mematahkan hatimu. Tak perduli seberapa hebat kau jaga hatimu itu. Sekali, dua kali, atau berkali-kali. Entah dalam urusan cinta atau apa saja. Dan, ketika kau berkata, “Aku sedang patah hati!” Pasti bukan liver yang kau maksudkan, melainkan satu titik tersembunyi atau ruang paling dalam dan rahasia di dirimu, yakni sebuah hati yang tak tampak, tetapi seolah-olah merupakan tempat segala rasa dan asa bersemayam, dan menjadi sedemikian nyata di dalam perasaanmu tentang hidup; dirimu, benda-benda, manusia lain, dan peristiwa-peristiwa, bahkan yang telah lama lewat: kenangan.

Hati — Di dalam hampir semua tradisi besar dunia, hati dialami dan dipahami sebagai inti sebuah pribadi, titik pusat di mana segala sesuatu yang dapat disebut sebagai kehidupan manusia tersimpan dan bergejolak. Hati adalah ruang maha semesta. Tak seorang pun, bahkan penyair, dapat mengukur seluas apa hati itu. Namun, hati pun kadang bisa menjadi sempit dan tertutup seperti sebuah kamar kecil dengan pintu dan jendela yang terkunci. Keluasan dan kepengapan hati sesungguhnya terletak pada keyakinan manusia tentang hidup. Sedangkan keyakinan manusia tentang hidup ditentukan oleh bagaimana ia memetik makna dari pengalaman-pengalaman atau peristiwa-peristiwa yang dialaminya.

Patah hati — karena apa pun — cenderung membuat kau surut, menutup pintu hati, dan sembunyi. Seolah-olah seluruh dunia dan semua manusia adalah jahat dan mematikan. Kau merasa tidak ada yang dapat kau percaya. Bahkan pada titik tertentu di dalam patahmu, Tuhan pun kau pertanyakan. Sebenarnya, itu kecenderungan yang manusiawi. Ketika berhadapan atau dikelilingi kegagalan atau kehilangan yang berujung lara. Seolah-olah tidak ada lagi yang bisa kau percaya. Inilah saat-saat di mana semua hal tampak mustahil untuk dimaknai, hampa, dan sia-sia.

Ketidakpastian — Sejak awal sudah kukatakan bahwa kehidupan telah sedemikian adanya. Tidak ada yang dapat manusia pastikan dari kehidupan. Dan jika tidak ada yang pasti, maka harapan adalah yang paling berbahaya sekaligus yang paling mungkin memberi kepada manusia, kepada kau dan aku, sebuah keberanian untuk menghadapi ketidakpastian. Di dalam ketidakpastian kehidupan, harapan bisa menjadi obat sekaligus racun. Barangkali kau pernah berharap dia membalas cintamu, tetapi kenyataannya dia membalas cinta seseorang yang lain. Kau menelan sendiri harapanmu yang tiba-tiba saja terasa bagitu pahit dan panas bagai bisa. Apa lagi yang bisa aku katakan tentang itu? Hidup memang demikian. Patah hati adalah biasa, dalam arti: kadang tak terhindarkan. Namun, apa yang hendak aku persoalkan adalah hatimu, hati kita. Sesudah patah, apakah kau berani berharap sekali lagi?

Aku percaya, terlepas dari semua peristiwa yang dialami, entah itu yang membuat bahagia atau yang mendukakan, kau dan aku dan semua manusia memiliki hati yang luas di mana semua lara dan luka dapat ditanggung dan diberi makna.  Inilah satu dari dua hal yang membuat aku berani berharap sekali lagi, dan sekali lagi, ketika patah hati. Sebab aku tak melihat ada jalan lain yang lebih baik dari ‘berharap sekali lagi’, meski tak selalu harus pada orang atau kisah yang sama.

Harapan tak boleh mati — harapan butuh makna. Aku percaya, bahwa kau dan aku adalah satu-satunya manusia yang paling bisa diandalkan untuk memberi kepada diri kita makna — dan dari situ akan datang kekuatan dan keberanian. Di dalam patah dan lara, sebuah kekecewaan yang gelap dan tak terkendali, manusia hanya punya dua pilihan: menolak atau menerima kenyataan. Bagiku, sekalipun pahit dan panas, terimalah apa yang nyata. Sebab di dalam penerimaan itu, kau dan aku belajar mengumpulkan segenap kekuatan untuk percaya bahwa kekayaan dari kebaikan hidup akan mengajari jari-jari kita untuk menyulam makna. Selama kau dan aku percaya pada adanya kebaikan, bahkan dalam masa-masa paling kelam, kebaikan yang kau dan aku percayai itu akan menolong kita untuk bergerak maju dan — dalam cara-cara yang semula tak terbayangkan — akan mengubah hidup kita.

Kehidupan mengisi dirinya dengan tak terbilang banyaknya ketidakpastian. Pengalaman demi pengalaman membuktikannya. Tak ada yang pasti. Di dalam semua yang tak pasti, manusia mengisi dirinya dengan dua hal: cinta dan takut. Manusia yang mengisi hatinya dengan ketakutan akan sedapat mungkin mengambil jarak dari kehidupan. Hatinya menjadi sempit dan ia terpenjara di dalamnya. “Jangan sampai patah hati (lagi),” begitu pikirmu. Namun, manusia yang mengisi hatinya dengan cinta akan berani menceburkan diri ke dalam hidup yang maha samudra. Hatinya akan cukup lapang untuk menanggung semua ketidakpastian termasuk, “Jangan-jangan patah lagi nanti.” Meski memang tidak ada jaminan bahwa kau dan aku akan mengalami hidup yang sesuai harapan, tetapi “Di dalam semua ketidakpastiani ini, adakah yang lebih baik dari memilih cinta atau jatuh cinta (lagi)?

Mencintai (lagi), lalu patah (lagi), dan tetap percaya kepada cinta, bagiku, adalah pengalaman sejati tentang hidup — dan sejatinya kehidupan manusia memang demikian.

____

Kosong

“Padaku ada pikiran, lengan, tenaga dan waktu, juga potongan-potongan kangkung dan harapan yang mungkin akan kita butuhkan untuk menciptakan kembali cinta yang dicabik-cabik dengan parang dan peluru.”(29).png

Beberapa orang seperti matahari; orang-orang membutuhkan mereka, namun tak pernah sekalipun berpikir untuk mendekat dan memeluk mereka. Beberapa orang lagi seperti beberapa kata yang menemukan bentuk; tambah yang menyusut jadi dua garis saling mengiris, cinta yang menjadi sebentuk hati, dan kosong yang menjadi tatapan matamu.

Gelap dan terang. Kesalahan selalu ditemukan bersamaan dengan ditemukannya kebenaran. Barangkali cinta juga begitu adanya; ditemukan saat kehilangan. Aku kehilangan diriku saat menemukanmu, dan rindu adalah menyatunya dua hal yang berlainan: kau ada sekaligus tiada. Gelap dan terang, kesalahan dan kebenaran, cinta dan rindu, semua hal yang berlainan, bertentangan, dan tak terpisahkan itu dapat kurangkumkan dalam satu kata saja: dirimu.

Tetapanmu yang kosong telah membawaku sedemikian jauh dari sisimu. Lalu kini aku kembali dengan tatapan yang sama sekali lain. Meski gelap yang sama masih kudapati mengambang di sana, namun serentak aku ingat, “Tak ada yang lebih berhak memiliki cahaya, selain kegelapan. Penghuni hari ini, selalu, adalah mereka yang membawa kemarin di dalam dirinya.”

Tatapan matamu bukan kosong. Aku ingin bertanya, “Apa yang memenjarakanmu di masa lalu?” Namun, itu hanya kulakukan di dalam kepala, seperti semua percakapan sebelumnya. Selalu aku dan aku, dan selalu tentang dirimu.

____

Batu dan Sepasang Sepatu

Kau perlu ingat, ini bukan usaha memikirkan rindu. Aku hanya sedang mengingatmu di sana, sambil menyadari bahwa tubuhku ada di sini, di tempat tidur ini, dengan dua mata yang menyanggah langit-langit kamar. Diam, tak bergerak. Seumpama batu yang bernapas. Kau di sana, teramat jauh. Kau juga di sini, begitu dekat, begitu lekat. Di batu kepalaku, seumpama lumut. Hijau dengan tekstur yang berbulu dan rapuh, tetapi melekat-lekat seperti baju basah di tubuh batu yang tak kuasa mengelupasnya, padahal sebenarnya kau ada di ruang dan waktu yang sama sekali berbeda.

Tiga menit lalu suaramu meninggalkan telingaku persis ketika kau menyentuh tombol merah di telepon genggammu. Selamat tidur yang kau ucap adalah selamat jalan-jalan untuk pikiranku. Tubuhku batu, sementara pikiranku adalah sepasang sepatu kecil yang bepergian jauh tanpa kakiku di dalamnya dan tubuhku di atasnya.

Cuma perlu satu langkah. Sepatu itu telah sampai di jalan yang kau dan aku sebut sebagai bukan kebetulan, pertemuan yang dulu itu. Ia hendak mengendus aroma bahagia yang mengambang di udara petang itu, namun sepatu itu tak punya hidung. Maka, ia hanya membuat langkah di atas jejak-jejak kaki kita hingga tiba di pintu pagarmu yang, tengah malam begini, telah terkunci. Sekali lagi, sepasang sepatu itu tak punya tangan untuk menyibak pintu pagarmu.

Namun, ia memang sepasang sepatu yang nakal. Tiba-tiba saja, ia telah menjejakkan kaki di teras belakang rumahmu yang dikelilingi pagar tinggi sejengkal di atas kepala. Halaman yang kau dan aku sebut sebagai hari yang menyenangkan. Tiba-tiba sepatu itu melompat lagi. Ia pulang ke dalam pikiranku dengan membawa di dalamnya kakimu dan di atasnya bebayang tubuhmu.

Terima kasih untuk hari ini.

Dari sekian banyak cerita yang kita tumpahkan di teras belakang, hanya itu yang ia bawa pulang. Lalu, sepasang sepatu itu entah ke mana. Hilang. Aku kembali menjadi seumpama batu yang bernapas. Diam, tak bergerak. Menunggu terbit jari-jari yang menyibak ratusan lembar ingatan tentang dirimu. Barangkali nanti ada beberapa bagian yang bisa mengantarku ke dalam tidur atau ke jalan lain menuju embun di jendela matamu yang pagi.

____

15 Pertanyaan Langit kepada Bumi

“Padaku ada pikiran, lengan, tenaga dan waktu, juga potongan-potongan kangkung dan harapan yang mungkin akan kita butuhkan untuk menciptakan kembali cinta yang dicabik-cabik dengan par

Selalu ada muara bagi sungai dan laut untuk merundingkan tawar hati dan asin air mata. Demikian pula ada, di bumi ini, waktu dan ruang bagi manusia untuk berjumpa; untuk mengurai kekusutan pikiran atau membuat lubang angin untuk pekat kabut perasaan.

Terdapat begitu banyak bahasa di muka bumi. Bahasa-bahasa yang memisahkan tetapi juga yang menjembatani pulau dan bangsa. Bahasa cinta, bahasa langit, isyarat awan, nyanyian daun, bahasa tanah, dan tarian laut. Namun, manusia telah memilih sendiri bagi bibirnya suatu rumpun bahasa dari benda-benda gelap, keras, dan mati. Bahasa yang tak bisa diucapkan manusia, kecuali dengan pedang, batu, dan pentung. Lidah mereka manjadi kelu dan kaku seperti pedang atau batu yang bisu di tangannya.

Sementara itu, di alam maya api menyala. Pikiran manusia seumpama ilalang gersang yang menunggu tersulut api. Jari-jarinya terlalu kecil dan lemah. Kendati demikian, di taman-taman masih ada jari-jari bunga yang terbuka meminta dan mensyukuri cahaya. Ada pula jari-jari bayi yang menggenggam, tanpa curiga.

“Mengapa manusia harus meminjam jari-jari api untuk merangkai kata dan bunga?”

Semua yang disentuhnya menyala, berkobar. Padang di hati-hati yang kering, pohon-pohon di hutan, juga rumah-rumah yang berhimpitan. Jari-jari api berjingkat di atas kotak pensil warna-warni yang esoknya dibawa berangkat anak-anak kecil itu ke sekolah.

Dapatkah mereka kau ajari melukis bianglala dengan hanya arang di kotak pensilnya?”

Anak-anak dipisahkan dari teman sekelasnya oleh satu mata pelajaran: agama. Dan perbedaan agama-agama tersimpul menjadi perbedaan yang semu, sebab anak-anak itu tak mengerti. Mereka bertanya, “Mengapa?” Dan orang-orang dewasa berusaha setengah mati menjelaskannya, tanpa mengetahui berapa banyak dari kata-kata mereka itu yang kelak menjadi api dan berapa yang akan menjadi mata air di dalam hati anak-anak yang kelak menjadi Indonesia.

Kenalkah kau dengan gugusan-gugusan pulau yang disebut Indonesia?”

Ia adalah ribuan pulau sekaligus sebuah ‘pulau’ di mana cita-cita atau sebuah damba perihal hidup setara, sejahtera, dan adil dalam macam ragam perbedaan pada suatu waktu telah disemai dan diharapkan tumbuh. Sebuah taman surga: damai, indah, dan berwarna. Akan tetapi selagi kau dan aku sibuk membayangkan masa depan dalam kesendirian masing-masing, sebuah dunia di luar kamar kita kian tergerus.

“Berapa nilai yang akan kau berikan untuk penegakan hukum dan keadilan? Lima?”

Angka tidak penting dalam urusan keadilan. Banyak hal ditumbangkan, digusur, dan dibiarkan layu. Suara-suara manusia yang bertanya tentang keadilan dibiarkan menjadi gaung lembah yang nanti juga hilang sendiri. Seolah-olah sudah takdirnya. Orang-orang miskin, yang berbeda, dan yang sedikit dan lemah telah menjadi seumpama rumput yang memang tak masalah bila terinjak-injak derap pembangunan dan kemajuan. Padi hendak ditukar dengan semen, gunung dan pantai pasir dengan emas dan biji-biji besi, sedangkan manusia tak bisa makan semen dan tak bisa tinggal di atas biji-biji besi. Manusia perlu pantai dan gunung-tanah kampung halamannya.

“Apakah pembangunan dan kemajuan hanya bisa bicara dengan bahasa traktor?”

Manusia semakin tak sanggup untuk menanggung keinginannya dan perbedaan-perbedaan di antara mereka. Perbedaan yang memang tidak selalu enak itu membutuhkan pengertian dan kesabaran. Tetapi menjadi mengerti dan sabar, bukan perkara gampang. Buktinya, kebencian mendapat tempat yang luas di hati. Dan kebodohan manusia adalah mereka gampang sekali merasa pintar. Bahaya mengintai seketika. Manakala semua yang pintar-pintar itu merasa yakin bahwa mereka adalah pemilik sah kebenaran. Dari situ kehendak untuk menghapus atau meniadakan akan menampakkan diri, luas dan lapang, sebagai satu-satunya jalan.

“Apakah kebencian dan kebodohan adalah agama baru? Banyak sekali penganutnya.”

Bukan. Agama adalah satu hal lain, di samping darah dan bangsa. Sewaktu purnama, lautan di depan kampungku teramat pasang. Seoalah-olah ia hendak menyerahkan seluruh isi dadanya kepada rembulan. Matahari mungkin saja cemburu. Namun, demikianlah hidup. Warna-warni rasa. Suka dan tidak suka. Cinta dan tak cinta.

“Haruskah matahari mengeringkan lautan hanya karena lautan lebih mencintai purnama?”

Tidak perlu. Sebab di tanah dari mana aku datang, orang-orang menjunjung langit, menjunjung matahari. Upu Lanite, Tuhan maha langit dan Up lera, Tuhan maha terang. Sucinya panas. Panasnya mematangkan kulit ari dan buah-buah lemon di pohon yang tumbuh dari celah karang. Tuhan tak tampak di mata, tak mungkin diraba oleh nalar. Manusia memujanya dalam daya matahari, atau dalam kemegahan gunung-gunung, atau tenaga hidup pohon-pohon, dan kekalnya batu-batu.

Berdosakah bila manusia-manusia di kampungku berdoa di bawah batu besar atau di kaki gunung?”

Mengerikan bila ternyata semua pohon dan bunga harus mati karena menyembah bumi dan langit. Sekarang pun hujan turun. Semua hewan dan tumbuhan memujanya. Bumi bersuka. Hujan adalah pemberian diri. Bulir-bulirnya yang rela, jatuh begitu saja. Hujan tak memiliki tanya, di dahan mana ia akan hinggap dan luruh. Atau akar mana yang harus ia beri minum.

“Pohon apa yang paling berhak untuk mandi hujan?”

Semua. Di halaman-halaman rumah, di mana cinta pertama kali mengusap wajah kita yang dulu kanak-kanak, masih rumput dan beberapa pohon yang barangkali hingga kini tak kau dan aku ketahui namanya. Beberapa menjadi tua, seperti kedondong dan nani itu. Sementara beberapa lainnya mati dan hidup lagi seturut kehendak bumi. Mereka ada di sana melihat kita jatuh cinta pada keindahan yang tak kita kenali. Kakek pernah menanam belimbing. Di Waiapu petani menanam benih-benih padi.

“Adakah padi bisa memilih untuk tumbuh sebagai pohon belimbing?”

Tidak mungkin. Padi tetap akan tumbuh jadi padi, bukan orang-orangan sawah yang tinggal di bawah langit mendung, yang membuat banyak orang murung, menunda perjalanan, atau buru-buru pulang ke rumah untuk menemui cintanya. Langit ditinggal sendiri, hanya karena ia seolah-olah berubah warna: kelabu dan menangis.

Apakah kau mencintaiku hanya karena warna kulitku biru?

Tidak. Mawar yang merah tetap berdiri di taman lain menjunjung langit yang biru. Seperti orang-orangan sawah di antara hijau hamparan padi yang betah tumbuh di bawah langit yang sama. Laut memantulkan jingga langit pada entah berapa banyak petang. Atap bumi adalah langit. Lantainya adalah tanah. Akar-akar bunga melati juga mencari makan dan tumbuh di tanah yang sama, di satu taman yang lain. Meski nanti bila ia dibawa pergi oleh pencinta bunga yang hendak memberi warna baru di kebun mawarnya, ia tak perlu khawatir atau bertanya.

Bolehkah melati tinggal di kebun mawar?

Boleh saja. Sebab mawar yang merah, sekalipun berubah jadi putih, ia takkan menjadi melati. Ia tetaplah mawar. Sekuntum mawar yang putih. Manusia kadang takut dan kalang kabut terhadap yang lain yang berbeda dan yang tak ia akrabi. Seperti laki-laki yang begitu takut kepada perempuan, tubuh dan pikirannya, yang rahasia. Dari ketakutan itu telah lahir banyak usaha penaklukkan. Pemerkosaan-pemerkosaan dengan alasan-alasan yang tak beralasan, misalnya: baju perempuan.

Adakah baju perempuan yang sanggup menutupi pikiran kotor [laki-laki]?

Tidak ada. Ketakutan yang membangun peraduan di dalam pikiran manusia sesungguhnya tidak pernah tertidur pulas. Pemeluk-pemeluk agama pun dilanda kecemasan. Mereka begitu takut kepada yang berbeda. Jangan-jangan jika semua manusia harus diantar ke surga, tempat itu menjadi tidak cukup luas. Hak atas surga menjadi hal paling istimewa dan sebuah medan perang.

“Benarkah hak istimewa itu hanya bisa dibuktikan dengan darah?”

Kita tak pernah bertanya. Kepada Adam dan Hawa pernah diberikan sebuah taman. Sejujurnya, taman itu terlalu luas untuk ditinggali dua orang saja. Namun, Tuhan memang maha segala. Ia maha baik, juga maha luas. Dan tugas kita menjadi mustahil untuk dilakukan, sebab bagaimana kau dan aku bisa membayangkan suatu tempat yang cukup luas untuk menjadi kediaman Yang Maha Luas itu. Boleh dikata, keluasan yang tak terkira, seperti cinta.

Dan yang kuketahui, cinta tidak menggusur, mencabut, atau membunuh apa-apa, selain kebencian dan rasa tak perduli. Cinta adalah benang merah; menghubungkan semua warna, tanah, pulau, bahasa, bangsa, dan kisah yang berjudul peradaban manusia. Aku takjub. Aku heran.

“Mengapa manusia berani mati untuk agama, tetapi begitu takut untuk mencinta seturut ajaran Tuhannya?

Ya. Cinta memang bukan piala yang terhidang bagi manusia-manusia yang menyerah kepada ketakutan.

____

Meooong

9U-1PKi2

Kucing itu sudah pergi. Maka aku memasuki rimba pikiranku dan sesuatu melukaiku di sana. Aku pun bergegas pergi. Lari. Menyelamatkan diri. Meninggalkan ceceran darah dan tak pernah mau kembali lagi,” jawabnya.

Seseorang telah bertanya kepada laki-laki yang kesakitan dan pucat itu dan kita tak mengetahui pertanyaannya.

Namun, yang tak kumengerti adalah bagian ini. Sementara kau sibuk meladeni aku memikirkan pertanyaan itu, orang-orang telah bersepakat menamai pikiran mereka yang tergesa-gesa itu sebagai jawaban, bahkan sebelum kita sempat menemukan apa pertanyaannya.

Hidup telah dipadati sedemikian rupa dengan jawaban-jawaban yang tak mempunyai pertanyaan. Dan kejahatan paling mengerikan yang kuketahui bermula dari keinginan untuk memberikan jawaban kepada orang yang tak boleh bertanya.

Barangkali lebih susah mendirikan tanda tanya daripada sebuah negara atau rumah tangga.

* * *