Latanenite

“Padaku ada pikiran, lengan, tenaga dan waktu, juga potongan-potongan kangkung dan harapan yang mungkin akan kita butuhkan untuk menciptakan kembali cinta yang dicabik-cabik dengan par

Dari tanah dan laut, negri-negri di pesisir dan gunung-gunung tinggi, kau dan aku datang dengan seluruh raga. Dengan mata yang telah mengenali garang wajah parang. Dengan hati yang telah belajar menjilati luka dan mengerti arti perang yang tak lain adalah menang sama kalah, rubuh dan patah, arang dan abu, tanpa meninggalkan apa-apa. Cuma lagu-lagu yang di dalamnya kita menangisi diri sendiri.

Akan tetapi dari semua yang sudah berlalu, sibu-sibu menyeret layar kita begitu jauh dari rumah dan ibu, demi sebuah rumah lain di masa depan, yang kita bayangkan lebih baik dari hari kemarin. Hidup adalah hari ini. Sementara, pada hari ini pun satu ziarah mengantar kita kembali ke masa lalu; mengikuti nyala obor, jiwa yang jumawa, dan kaki-kaki yang menaiki puncak Saniri untuk memandang betapa perjuangan itu adalah samudra yang seolah tak berbatas, mendidih, dan kita seperti terlahir hanya untuk mengarunginya.

Maka demi ina yang mengalirkan susu dan ama yang membelah lautan, cinta anak-anak pulau adalah putih tulang di tanah rantau dan rindu pulang yang selalu ingin kita ulang. Demikianlah kau dan aku ada di sini, mencurahkan seluruh tenaga dan waktu di bangku-bangku dan buku-buku yang suntuk, hanya supaya bisa lekas-lekas kembali menyusuri gang dan wajah-wajah yang bersahabat, menumpangi angkot-angkot yang dulu pernah mengantar kita ke sekolah, atau berlari-lari sambil tertawa menuju pantai-pantai di mana kau dan aku bisa tidur seharian, menyenangi waktu-waktu dan warna-warna yang mengantar siang kepada malam, cahaya kepada kelam, pelaut-pelaut kepada asin garam, tanpa pernah bertanya, “Bagaimana semua kesenangan ini diraih? Atau dengan apa? Dengan apa kebebasan untuk bermain dan belajar, bekerja dan melepas lelah, bernapas dan bercinta: merayakan hidup sebagai manusia merdeka, dengan apa semua itu pernah ditukar?”

Kita sering lupa dan alpa.

Kemalasan merayu dengan halus namun gigih. Jari-jari manusia telah menjadi seumpama mesin-mesin yang tak boleh berhenti dari menekan tombol-tobol digital untuk sekedar parkir di halaman-halaman buku atau menjabat tangan sahabat. Bibir-bibir manusia seperti lupa pada diam, senang pada bunyi-bunyi manja, haha-hihi, lala-lili, dan dering-dering telpon; bumi manusia kian bising, kian bingung. Sementara itu kata-kata juga berita yang kita harap dapat membawa kesejukan telah menjadi sebenar-benarnya peluru yang menumbus dan bikin koyak kain gandong. Manusia menyeret agama-agama dengan kekuatan nafsu paling purba: ingin benar sendiri, ingin menang sendiri, ingin tinggal di bumi ini sendiri, dan ingin naik ke langit itu sendiri. Padahal langit mengartikan hidup sebagai pelangi dan bumi menghamparkan taman sari berisi rupa-rupa bunga, warna-warni manusia dari mana-mana tanah, bangsa, dan bahasa.

Manusia sering lupa. Kita memang sering lupa dan alpa.

Tetapi, demi latane yang setia menumbuhkan benih dan lanite yang memberi matahari, Pattimura, Christina Martha, dan Said Parintah telah menjadi heka. Biji mata yang rela kehilangan cahaya supaya kau dan aku dapat menatap wajah kebebasan. Hidup, sesungguhnya, adalah memberi napas kepada kebaikan, supaya ia memenuhi udara dan menjadi semesta di mana ale deng beta adalah leka; perahu-perahu yang dilepas ke laut untuk melayari gelombangnya masing-masing, kesunyiannya sendiri-sendiri, sambil tetap mengingat, si ambamuwe nunu jela lehu: kita semua datang dari satu rahim bernama kehidupan yang kita puja sebagai Maluku.

Heka leka, heka hiti. Jaga latane, horomate lanite – dan tumbuhlah sama-sama, tinggi-tinggi. Lawamena!

______
(Dibacakan pada Perayaan 200 Tahun Pattimura di Salatiga, 21 Mei 2017)

Diterbitkan oleh

Weslly Johannes

Mencintai. Menulis. Ombak. Maluku. Kenangan.

Tinggalkan komentar